Solo Raya baru-baru ini menjadi saksi meriahnya sebuah aksi literasi yang bertujuan melestarikan seni dan budaya lokal. Festival literasi ini bukan hanya ajang pamer buku, tetapi sebuah perayaan budaya yang menginspirasi generasi muda untuk lebih dekat dengan warisan leluhur melalui berbagai kegiatan interaktif. Aksi literasi semacam ini menjadi penting di tengah gempuran modernisasi, untuk menjaga akar identitas bangsa.
Acara akbar ini dipusatkan di Pendapa Agung Keraton Surakarta Hadiningrat pada tanggal 17 Mei 2025 dan berhasil menarik ribuan pengunjung dari berbagai kalangan, terutama pelajar, mahasiswa, hingga keluarga. Suasana di kompleks keraton begitu hidup, dipenuhi dengan semangat belajar dan apresiasi terhadap budaya. Berbagai kegiatan menarik diselenggarakan secara serentak di beberapa area, mulai dari pameran buku-buku yang secara khusus menyoroti sejarah, filosofi, dan kebudayaan Jawa, lokakarya menulis aksara Jawa kuno, hingga pertunjukan wayang kulit mini yang diiringi gamelan secara langsung. Keberadaan para seniman dan budayawan lokal yang aktif berinteraksi dengan pengunjung turut menambah semarak acara. Ini menunjukkan bahwa aksi literasi bisa dikemas secara kreatif dan menarik, jauh dari kesan kaku atau monoton.
Salah satu sorotan utama festival adalah sesi “Dongeng Nusantara” yang dibawakan oleh pendongeng lokal ternama, Ibu Rina Wati. Sesi ini diadakan pada pukul 14.00 WIB dan berhasil memukau ratusan anak-anak dengan cerita-cerita rakyat yang sarat makna moral dan kearifan lokal. Anak-anak tampak antusias mendengarkan kisah-kisah legendaris yang disajikan dengan gaya bercerita yang hidup dan interaktif. Selain itu, ada pula sesi diskusi dengan penulis buku-buku sejarah lokal yang memberikan pemahaman lebih mendalam tentang jejak peradaban di Solo dan sekitarnya. Ini memberikan dimensi edukatif yang kuat pada aksi literasi ini, mengintegrasikan pengetahuan dengan hiburan.
Partisipasi aktif dari berbagai komunitas seni dan budaya di Solo Raya juga menjadi kunci sukses festival ini. Mereka membuka stan interaktif yang memungkinkan pengunjung mencoba langsung berbagai seni tradisional seperti membatik, menari Gambyong, atau memainkan alat musik gamelan. Para instruktur yang ramah dengan sabar membimbing pengunjung, memberikan pengalaman langsung yang tak terlupakan. Bapak Hari Susanto, salah satu kurator pameran buku, menyatakan bahwa tujuan utama festival ini adalah “menjembatani generasi milenial dan Z dengan kekayaan budaya melalui gerbang literasi yang menyenangkan, agar mereka tidak hanya membaca tetapi juga merasakan dan mencintai budayanya.”
Melalui aksi literasi yang terintegrasi dengan pelestarian seni dan budaya, festival ini telah berhasil menciptakan ruang di mana tradisi dan modernitas bisa bertemu. Diharapkan, kegiatan semacam ini dapat terus digalakkan di berbagai daerah, menjadi inspirasi bagi wilayah lain untuk terus menghidupkan semangat literasi dan kecintaan terhadap budaya lokal. Ini adalah investasi jangka panjang untuk menjaga keutuhan identitas bangsa dan membentuk generasi muda yang bangga akan warisan leluhurnya di masa depan.